Resensi Novel Jika Kucing Lenyap dari Dunia




Data Buku:

Judul Buku: Jika Kucing Lenyap dari Dunia
Pengarang: Genki Kawamura
Penerbit: Penerbit BACA
Tahun Terbit: 2020
Jumlah halaman: 255 halaman
ISBN: 978-602-6486-43-1


Apakah yang akan kamu lakukan jika umurmu tinggal hitungan hari? Apa perasaanmu jika kamu akan segera mati? Demikianlah premis yang ditawarkan oleh novel karya Genki Kawamura—yang juga merupakan produser film Your Name, Confessions, dan Weathering with You—yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ribeka Ota ini.

Meskipun telah dirilis versi filmnya dan saya sudah menontonnya, rasanya tak ingin melewatkan versi bukunya begitu saja, karena bagaimanapun, buku dan film adalah dua karya yang berbeda dan hidup masing-masing. Meskipun tak jarang, jika ada sebuah karya terbit dalam bentuk buku dan film sekaligus, tak jarang kita memilih untuk membandingkan satu sama lain. Tetapi tentu saja, seharusnya keduanya tak mesti selalu harus dibandungkan, karena bahasa tulisan dan visual tentu adalah dua hal yang berbeda. Kalimat demi kalimat yang disajikan sebuah buku barangkali sangat kaya oleh aneka jenis diksi yang menjadikan imajinasi pembaca bergerak dengan demikian liar, namun lain halnya dengan film. Bentuk visual tentu memiliki sifat yang lebih sederhana daripada bahasa tulisan.

Novel remaja yang bergenre fantasi ini menceritakan seorang tokoh laki-laki berusia 30 tahun yang bekerja sebagai tukang pos. Disebabkan flu berkepanjangan dan sakit kepala yang menyertainya, pada akhirnya dia memeriksakan dirinya ke dokter. Betapa terkejut dia, ketika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa dirinya mengidap tumor otak stadium 4.

Tentu saja tidak mudah menghadapi kenyataan hidup yang seperti itu. Hidup menjadi seolah dipenuhi oleh bayang-bayang kematian. Terlebih, pemuda itu hanya hidup seorang diri—hubungannya dengan ayahnya tidak terlalu baik dan mereka seudah berpisah sepanjag empat tahun lamanya, sedangkan ibunya sudah meninggal karena mengidap sakit yang sama dengan pemuda itu saat ini—kecuali hanya ditemani oleh seekor kucing berwarna abu-abu bernama Kubis.

Dalam segala kekalutan yang menerobos ke dalam kepalanya, muncul seorang—atau lebih tepat disebut dengan sesosok—iblis bernama Aloha yang memberi tawaran menggiurkan agar hidupnya bisa bertahan lebih lama. Caranya, yaitu dia harus bersedia menghilangkan sebuah benda yang dia sayangi dari dunia ini.

“Untuk memperoleh sesuatu, harus kehilangan sesuatu” (hlm. 18)

Masalah muncul kemudian, setelah pemuda itu mengetahui bahwa benda-benda yang dihilangkan bukanlah benda-benda yang bisa dia pilih dengan sesuka hati, tetapi kesepakatan tersebut justru datang dari pilihan-pilihan yang ditentukan oleh iblis.

Pertama-tama, benda yang dihilangkan adalah cokelat, lalu telepon. Pemuda tersebut merasa bahwa selama ini hidupnya begitu merepotkan karena dikendalikan oleh perangkat telekomunikasi itu dan tak bisa untuk menolaknya. Serupa dirinya adalah seorang budak yang tunduk oleh kecerdasan buatan manusia itu.

Sebelum telepon benar-benar dihilangkan, pemuda tersebut diberi kesempatan untuk menghubungi seseorang sebelum benda itu benar-benar lenyap dari dunia. Semula dia berpikir untuk menghubungi ayahnya, tetapi kemudian urung karena merasa hubungan mereka terlalu buruk. Sehingga pada akhirnya, dia memilih untuk menghubungi seorang wanita dari masa lalunya.

Meskipun iblis Aloha digambarkan sebagai sosok yang jenaka dan senang tertawa, permintaannya untuk menghilangkan benda-benda semakin sulit untuk dipenuhi oleh pemuda tersebut. Benda-benda yang dihlangkan berupa cokelat, telepon, film, lalu jam.

“Selama tiga puluh tahun hidupku ini, pernahkah aku melakukan sesuatu yang benar-benar penting?” (hlm. 160)

Lantas keajaiban terjadi pada Kubis, kucingnya yang gemuk dan berwarna abu-abu itu. Bagaimanapun, iblis tetaplah iblis yang punya kemampuan untuk mengelabuhi manusia. Dalam hal ini, tiba-tiba saja Kubis bisa berbicara dengan bahasa manusia, meskipun tentu saja hal ini hanya bisa dipahami oleh pemiliknya. Dan benda yang harus dihilangkan selanjutnya adalah kucing. Tentu saja tidak mudah bagi pemuda itu untuk memutuskan.

“…bahwa sebenarnya bukan manusia yang memelihara kucing, melainkan kucinglah yang rela mendampingi manusia.” (hlm. 192)


Jadi, apakah kamu mau tetap hidup jika kucing lenyap dari dunia? Adalah pertanyaan yang sulit untuk segera diputuskan.

Novel ini menjadi sangat menarik karena hal-hal sederhana yang ditawarkan seringkali luput dari perhatian. Tentang hal-hal yang ingin dilakukan sebelum mati misalnya. Karena seringkali, segala sesuatu terasa terlalu jauh untuk dijangkau ketika kesempatan masih sangat mungkin sebagai harapan demi harapan yang diberikan hidup, sehingga pada akhirnya seseorang justru lebih mungkin untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya kurang penting.

Hubungan percintaan hingga keluarga mewarnai seluruh jalinan plot cerita, yang menjadikannya tampak wajar untuk kita terima sebagai realitas yang kita jalani. Novel ini juga memberikan tawaran kepada kita untuk lebih menghayati tentang betapa sejauh apapun kita berlari dari segala persoalan hidup, tempat terbaik dan terdekat di mana ingatan dan kenangan kembali adalah keluarga.

Disampaikan dengan bahasa yang sederhana, menjadikan novel ini mudah untuk dicerna tanpa harus merasa rumit atau bosan saat menikmatinya, ditambah sentuhan warna merah jambu yang menjadi warna dasar kover, dengan seekor kucing abu-abu gemuk menyertainya menjadikan buku ini tampak begitu manis dan memikat. Karena jika ada orang-orang yang tidak menyukai kucing, pastilah jumlahnya tidak sebanyak orang-orang yang menyukainya.[]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar