[CERNAK] Orang-orangan Sinta

Oleh: Nita Jepi Tamara

Gambar: Google

Bel istirahat berbunyi.  Aku, Sinta dan Dipah duduk di depan ruang kelas untuk menyusun rencana selepas sekolah.

”Enaknya kita main apa ya?”

Dipah bertanya, sementara aku tertawa terkekeh karena wajahnya begitu lucu.

”Kita main orang-orangan saja.” usul Sinta. Aku dan Dipah menyetujuinya.

Setelah jam pelajaran selesai, aku dan teman-temanku bergegas untuk pulang. Kami tidak sabar bermain.

Selepas kami bertiga ganti baju, aku dan kedua temanku menuju pekarangan yang terletak di sebelah timur rumahku. Kami biasa bermain di sana.


Aku segera mengambil orang-orangan di dalam rumah.

“Aku pilih orang-orangan yang ini, bajunya juga yang ini, dan ini bagian rumahku. Kalian pilih yang lainnya ya.” kataku.

Mereka mengangguk, lalu sibuk memilih orang-orangan. Kami bermain selayaknya dalang yang sedang memainkan wayangnya.

Azan ashar berkumandang, waktu main bagi kami selesai. Mainan kami bereskan karena harus segera mengaji sore.

***

Di hari lain selepas pulang sekolah, kami kembali memainkan orang-orangan, dan aku baru menyadari salah satu mainanku hilang.

“Orang-orangan yang hilang itu kemarin dimainkan Sinta, tapi apa iya dia yang mengambilnya? bisikku pada Dipah.

“Aku tak melihat Sinta memasukan mainanmu. Dia hanya membantuku berkemas mainanku.” 

Sebenarnya aku tidak ingin curiga, sekaligus tidak mempercayai jika Sinta mengambil orang-orangan itu. Memangnya untuk apa? Tapi di sisi lain, kami bermain bersama. Jika bukan dia lalu siapa?

Orang-orangan yang kamu mainkan itu hilang, Sin. Apa kamu tahu di mana ?” tanya Dipah hati-hati.

Aku sudah mengembalikannya. Lagi pula untuk apa aku mengambilnya? Aku juga sudah punya mainan yang sama,” jawabnya dengan wajah jengkel.

“Ya sudah, mungkin karena aku ceroboh meletakkannnya.”

Kami kembali bermain seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tetapi meskipun begitu, rasa curigaku masih ada kepada Sinta, entah kenapa.

Di tengah permainan, tiba-tiba Sinta mengusulkan untuk keliling naik sepeda. Itu bukan ide yang jelek.

Aku dan Sinta berboncengan dengan sepedaku, sementara Dipah sendiri. Kami mengelilingi desa dan berhenti di pinggir sungai. Udara terasa sejuk karena banyak pohon-pohon di sekitar sungai.

“Mandi di sungai, yuk. Tiba-tiba aku merasa mulas dan harus buang air,” kata Sinta. dia memang terbiasa seperti itu. Kami pun tertawa.

Serempak, aku dan Dipah menjawab “Ayo!”. Tampak sekali kebahagian Sinta saat aku dan Dipah menjawab iya.

Tetapi, saat aku dan Dipah mandi di sungai, aku melihat Sinta meletakkan orang-orangan yang mirip punyaku. Dia meletakan di keranjang sepedanya. Kurasa dia tidak memiliki orang-orangan seperti itu.

Sinta  menuju ke arah tempat aku dan Dipah mandi, dia masih saja tersenyum dan bercanda seperti tidak ada apa-apa. Aku sengaja menyudahi mandi di sungai lebih dulu ketika Sinta masih asyik untuk memastikan bahwa itu mainanku yang dia ambil. Aku segera menghampiri  keranjang sepedanya dan apa yang kulihat tadi itu benar, itu mainanku. Aku ingin marah sekali, namun rasa marahku aku redam dulu sampai Dipah dan Sinta menyudahi mandinya .

Mereka menghampiriku, dan Sinta memandangku dengan wajah bingung karena melihatku menatap tajam ke arahnya.

Kenapa kamu mengambil mainanku? Katamu kamu sudah punya?”

Aku tidak mengambil mainanmu. Sungguh!

Tidak perlu mengelak, Sin. Aku lihat sendiri kamu mengantongi mainanku di sakumu. Kamu meletakkannya di keranjang sepeda ketika akan mandi di sungai. Kenapa kamu melakukannya, Sin?”

Iya itu aku. Aku iri denganmu yang memiliki banyak mainan, aku ingin memilikinya.

“Kamu sudah memilikinya, kan? Kenapa kamu masih menginginkan apa yang dimiliki orang lain, Sin?

Aku dan Dipah meninggalkan Sinta sendiri di pinggir sungai, dan aku menyenggol bahu lengananya dengan sengaja.

***

Dua hari sudah aku dan Sinta bermusuhan. Tidak ada sapaan, tatapan, senyum, atau tawa bersama. Dua hari ini dia bermain dengan Naya, begitu pun aku bermain dengan Dipah.

Ada sesuatu yang ganjil. Saat aku bersepeda, tiba-tiba Sinta menghampiriku dengan wajahnya yang tertunduk,Maafkan aku, aku salah sudah mencuri mainanmu.”

Sinta mengulurkan tangan kepadaku,tapi aku tidak langsung membalas jabat tangan itu. Aku berdiam dan menatap Dipah.

Baiklah, aku memaafkanmu. Tapi kamu janji tidak akan mengambil barang milik temanmu lagi?

Aku membalas jabat tangan Sinta, dan dia pun tersenyum. Dia juga menjabat tangan Dipah,

Maafkan aku juga, Dip. Oh ya, ini Naya. Bisa kita tambah satu lagi, kan?”

Kami berempat saling memandang dan berpelukan(*)


---
Nita Jepi Tamara, saat ini berstatus pelajar di SMK Bina Utama Kendal. Dapat dihubungi di akun Facebook Nita Jepi Tamara dan Instagram @nita_jepi_tamara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar