Psikosomatis di Tengah Pandemi Covid-19

Oleh: Intan Budi Arifani, S.Pd

Ilustrasi: Pexels

“Cemas, takut, gara-gara pandemic bisa bikin kita sakit beneran loh…”

Pernahkah Anda merasa cemas berlebih, ketakutan, insomnia, jantung berdebar, hingga takut untuk pergi ke mana-mana, kemudian badan merasa sakit dan tidak enak di tengah pandemi ini? Jika iya, bisa jadi Anda terkena gangguan psikosomatis. Kebetulan, penulis pernah mengalaminya di tengah pandemi ini, ketika awal mula diumumkan bahwa di Indonesia sudah ada yang positif covid-19, kemudian pemerintah mengumumkan untuk pembatasan sosial atau social distancing. Penulis mengalami gejala mirip orang yang positif Covid-19, padahal penulis tidak bepergian dari kota mana pun yang sudah tercatat sebagai kota dengan pasien positif covid-19.

Jadi, apa psikosomatis itu? Barangkali sebagian orang masih asing dengan istilah tersebut. Berdasarkan referensi yang penulis temukan, psikosomatis terdiri dari dua kata, pikiran (psyche) dan tubuh (soma). Gangguan psikosomatis adalah penyakit yang melibatkan pikiran dan tubuh, di mana pikiran memengaruhi tubuh hingga penyakit muncul atau menjadi bertambah parah. Istilah gangguan psikosomatis digunakan untuk menyatakan keluhan fisik yang diduga disebabkan atau diperparah oleh faktor psikis atau mental, seperti stres dan rasa cemas.

Jadi, jika ada yang mengatakan, “penyakit itu berasal dari pikiran …” bisa jadi betul. Kondisi mental kita yang sedang down bisa menimbulkan pikiran-pikiran yang lebih banyak didominasi negative vibes, dan hal itu bisa mempengaruhi fisik kita. Lalu, bagaimana kita bisa mengelola pikiran kita supaya kita tidak mengalami gangguan psikosomatis, terutama di masa pandemi covid-19 ini? Menurut penulis ada beberapa hal yang bisa kita lakukan antara lain :

Membatasi diri dari membaca/menonton hal-hal yang berkaitan dengan berita buruk, misalnya korban Covid-19.

Membatasi diri dari sosial media. Masa digitalisasi sekarang ini kita tidak boleh mempercayai begitu saja konten yang ada di media sosial, yang terkadang justru menjerumuskan kita karena berisi hoax atau disinformasi. Jadi jika kita terpaksa membaca berita dari sosial media, pastikan untuk menelusuri kebenarannya dulu.

Postif thinking. Berpikiran positif di sini namun bukan berarti meremehkan protokol kesehatan. Kita harus tetap mematuhi aturan-aturan anjuran pemerintah mengenai protokol kesehatan, maupun social/physical distancing. Jika kita terlalu positif thinking dan meremehkan situasi ini, justru kita bisa membahayakan diri maupun orang lain.

Belajar meditasi. Meditasi cukup membantu membuat pikiran menjadi relaks dan tenang. Tidak harus duduk dengan kaki bersila, berbaring dalam keadaan santai, kemudian menarik-embuskan napas berkali-kali pun sudah cukup untuk meredakan kecemasan. 

Isi kegiatan di rumah saja masa social distancing ini dengan melakukan hal-hal yang kita sukai. Misalnya, main musik, membaca buku, menulis essay, melukis, belajar dan lain-lain.

Menerima dan menyadari sepenuhnya, bahwa kita memang sedang menghadapi situasi pandemi global yang terjadi di seluruh dunia ini. Dengan menerima dan menyadari sepenuhnya situasi saat ini, akan menjaga kita untuk tetap waspada sekaligus membuat hati dan pikiran lebih lapang dan terbuka, sehingga tidak timbul negative vibes yang bisa merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Jadi, tetap jagalah kesehatan ditengah situasi pandemi ini. Tentunya tidak hanya kesehatan fisik yang harus kita jaga, namun juga kesehatan mental sangat perlu kita jaga juga. Stay safe, take care of your physical and mental health.[]

Tentang Penulis:
Intan Budi Arifani, S.Pd mengajar Seni Budaya di SMK Bina Utama Kendal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar