[RESENSI] 33 Senja Merawat Perbedaan di Halmahera

Judul : 33 Senja di Halmahera
Penulis : Andaru Intan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 192 halaman
Cetakan: I, 2017
ISBN : 978-602-03-4264-1


“Dan sebesar apa pun usaha manusia untuk mendapatkan sesuatu, bila Tuhan tidak menghendaki, maka sesuatu itu tak akan pernah menjadi miliknya. (hal. 183)


Senja selalu bisa menghadirkan sesuatu yang menyentuh dan menciptakan perasaan bahagia ketika memandangnya, oleh sebabnya, tidak sedikit orang yang memilih menjatuhkan cintanya untuk senja. Begitu pula dengan saya. Awal ketertarikan saya membaca buku ini adalah senja.

Novel 33 Senja di Halmahera ditulis oleh Andaru Intan, penulis yang juga seorang doter. Siapa sangka, novel tersebut ditulisnya di tengah kesibukan saat ia menjalani program PTT di tempat dengan kategori sangat terpencil—tepatnya di Puskesmas Maffa-Gane timur. Listrik yang menyala hanya malam hari, antenna televise bermasalah, sinyal tak lancar, ternyata justru membantunya untuk bisa menyelesaikan novel ini.


Novel ini menghadirkan tokoh Nathan, seorang Bintara yang ditugaskan ke pelosok Halmahera selatan lantaran terlibat perkelahian dengan anak orang terpandang. Di tengah rasa rindu akan keluarganya di Sirimau, ia jatuh hati pada Puan, gadis cantik yang sering terlihat murung. Ia membenci laut karena trauma di masa lalu. Perang saudara yang pada akhirnya menewaskan ayah dan ibunya. Nathan yang penasaran dengan sosok Puan dan trauma yang dialami, berupaya untuk menyembuhkan ketakutan Puan, meskipun tentu bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Hubungan mereka tidaklah mulus. Ada jurang perbedaan yang mau tidak mau memisahkan mereka.

“Barangkali kita bisa bicara lagi lain waktu, ini saatnya pulang. Aku harus ke gereja,” kata Nathan dengan seulas senyum damai pagi itu.” (hal. 97)

Kedekatan mereka bukan tidak menimbulkan masalah. Papa Puan sangat marah, bahkan keduanya harus bertengkar karenanya.

“Jadi menurut Papa, orang bisa ikut agama orang lain hanya karena menikah?” (hal. 150)

Begitulah cerita mengalir sepanjang 33 hari ketika Nathan bertugas di Sofifi. Penulis banyak mengeksplore kebudayaan dan keindahan Halmahera, tidak hanya pantai, melainkan juga kebiasaan penduduk setempat, juga kuliner-kulinernya yang bagi saya terdengar asing, tetapi menarik untuk disimak. Misalnya saja mengenai pemanenan bia dan sabeta.

Namun demikian, meskipun penulis berhasil menyajikan cerita yang luwes dan tidak terburu-buru, saya kurang bisa menyatu dengan karakter yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut, sehingga terkesan kaku dan kurang hidup. Selain itu, mengatasi trauma tidak pernah mudah, terlebih sesuatu peristiwa mengerikan yang melatarbelakanginya. Tetapi kita tahu, Puan bisa mengatasi ketakutannya dengan laut hanya dalam waktu satu hari ketika Puan bersama teman-temannya berlibur ke Kepulauan Widi. Benarkah sesederhana itu?(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar