[CERPEN] Setitik Asa yang Terlupa

Desi Wiramurti, S.Pd

Ilustrasi: Pexels

Malam ini tak seperti malam-malam sebelumnya. Terasa dingin dan angin bertiup cukup kencang. Sudah cukup lama hujan tidak membasahi alam. Gersang. Tak jauh berbeda dengan hati Rusman, lelaki yang sedang menikmati dinginnya angin malam di teras rumahnya sembari menikmati secangkir kopi hitam. Sesekali, suara burung hantu menemani Rusman menikmati kopi hitamnya yang sudah mulai dingin. 

Malam sudah hampir larut ketika Rusman masuk ke dalam rumah. Bukan untuk tidur. Tetapi, ia merebahkan diri di tikar lusuh yang sudah berlubang di beberapa bagian. Jari-jarinya sibuk menekan tombol handphone. Tidak ada satu pesanpun yang ia terima di handphonenya itu. Sama seperti di rumahnya itu yang tak ada siapapun selain dirinya sendiri. 

Dinginnya malam tiba-tiba membangunkan Rusman. Ia lihat jam dinding, ternyata masih dini hari. Ia memang tidak ingin bangun terlambat. Pukul 05.30, ia harus sudah berkumpul dengan teman-teman kerjanya di poskamling di tepi sawah tak jauh dari rumahnya untuk derep di sawah tetangganya. 

Langit hampir gelap ketika Rusman selesai menaikkan karung-karung besar berisi padi hasil panen hari ini ke mobil pick up. Setelah menerima upah derep, Rusman dan dan teman-temannya pulang ke rumah masing-masing dengan menaiki mobil pick up seperti saat berangkat pagi tadi.

Azan magrib masih terdengar ketika Rusman memasuki rumahnya. Ia segera menyalakan lampu rumahnya. Cahaya lampu seketika menerangi wajah laki-laki yang berusia empat puluh tahunan ini. Wajahnya yang hitam karena terbakar matahari terlihat sangat lelah. Tak ada siapapun yang menyambutnya ketika pulang bekerja, termasuk Rini, anak semata wayangnya.
Sudah lama Rini tidak serumah dengannya. 

Sekitar dua setengah tahun yang lalu, ia memilih tinggal bersama budhenya, kakak ipar Rusman. Tepatnya sejak Rini masuk SMP. Rusman tidak tahu pasti mengapa Rini lebih memilih tinggal dengan budhenya, bukan dengannya. Mungkin Rini merasa kesepian tinggal di rumah ayahnya. Setiap hari Rusman bekerja serabutan dari pagi sampai sore. Sedangkan di rumah budhenya, ia tak terlalu kesepian karena di sana ada tiga kakak sepupunya.

Beberapa bulan lagi Rini lulus SMP. Sebenarnya ada keinginan di hati Rusman untuk meminta anaknya kembali ke rumahnya. Ketika Rusman mencoba memejamkan matanya di malam hari, ia sering merasa rindu dengan Rini. Walaupun tidak terlalu akrab dengan anaknya sendiri, paling tidak ada seseorang yang menjadi alasan Rusman untuk pulang ke rumah setelah seharian bekerja. 

Rusman sering merasa kesepian tinggal seorang diri di rumahnya yang terbilang bagus itu. 
Rumah itu memang milik Suparti, istri Rusman. Ia pula yang sudah “menyulap” rumah yang dulunya seperti gubuk hingga menjadi rumah bagus dengan dinding tembok dan lantai keramik. Sudah beberapa kali Suparti pergi ke luar negeri sebagai TKW. Bahkan sejak sebelum ia menikah dengan Rusman. Rusman menikah dengan Suparti setelah Suparti bercerai dengan suami pertamanya. Suparti adalah wanita desa yang cantik, tinggi, dan manis. Hidungnya mancung, rambutnya lurus panjang, kulitnya sawo matang. Tak heran jika Rusman tak menolak untuk menikah dengannya. 
Setelah dua bulan menikah dengan Rusman, Suparti hamil anak pertama. Setelah sembilan bulan lebih lima hari menunggu, akhirnya Suparti melahirkan bayi perempuan. Bayi itu mereka beri nama Arini Putri Amalia. Setiap hari Suparti di rumah mengurus bayinya. Dan setiap hari Rusman tak kenal lelah untuk bekerja, kerja serabutan. 
Cukup lama Suparti menjalani hidupnya di kampung. Hingga keinginannya untuk kembali bekerja ke luar negeri tiba-tiba muncul kembali. Rusman pun mengizinkan Suparti menjadi TKW walaupun usia Rini baru satu tahun. Rusman berharap kalau kehidupan keluarganya akan lebih baik. Toh hanya dua tahun saja kok, pikirnya kala itu. Rini pun tumbuh tanpa kasih sayang dari ibunya.

Sebulan, dua bulan, satu tahun sudah terlewati sejak kepergian Suparti ke Singapura. Sudah beberapa kali ia mengirim surat bahkan uang ke Rusman. Suparti juga meminta dikirimi foro Rini yang diasuh oleh orang tua Rusman. Rini kembali ke rumah Rusman saat kelas empat SD. 

Kepergian Suparti ke luar negeri sudah hampir mendekati dua tahun. Waktu yang cukup lama bagi Rusman. Dan cukup lama pula Suparti tidak mengirim surat lagi pada Rusman, apalagi uang. Ketika waktu sudah terlewat jauh dari dua tahun, juga tak ada kabar dari Suparti. Kenapa? Ada apa? Dalam perasaaan gundah dan bingung, Rusman sering bertanya-tanya dengan dirinya sendiri. Terkadang sambil terbaring memandang genting kaca atap rumahnya, tanpa ia sadari pipinya basah karena genangan air di matanya. 

Jiwa raga Rusman sudah terlalu lelah. Hatinya sudah terasa patah. Dan pikirannya sudah buntu untuk menemukan jawaban. Empat belas tahun sudah Suparti menghilang tanpa jejak, seperti debu kemarau tersapu tetesan musim hujan. Sepanjang tahun yang sama pula Rini tak mengenal sosok ibunya. Sering ia bertanya-tanya dalam hati siapa ibunya. Namun ia selalu tak berani untuk menanyakan pada ayahnya. Sampai suatu hari Rusman merasa seperti tersambar petir di musim kemarau.

“Pak,” kata Rini pada ayahnya sambil menyodorkan sebuah kertas yang terlipat. 

Hanya satu kalimat yang tertulis di kertas pemberian Rini. Ibuku itu siapa? Tapi kalimat itu cukup membuat tulang-tulang Rusman terasa lemas seketika. Setelah bertahun-tahun memendam pertanyaan, akhirnya Rini memberanikan diri untuk bertanya walaupun hanya melalui sepucuk surat. Rusman akhirnya menyadari kalau anaknya itu sudah besar. Dan suatu hal yang wajar kalau ia menanyakan hal itu.

“Ibumu itu kerja di luar negeri tapi tidak pernah pulang,” kata Rusman pada Rini sambil berjalan ke luar rumah.

Rini hanya terdiam lalu masuk ke kamar. Di kamarnya yang agak pengap, Rini terisak karena menahan tangisnya agar tak terdengar ayahnya. Seketika muncul kerinduan yang sangat besar kepada ibunya yang tak sempat ia kenali wajahnya. Ia hanya bisa berharap kalau suatu hari nanti ibunya pulang untuk menjawab satu pertanyaan darinya, “Mengapa ibu tega meninggalkanku?”

Hari terus berlalu. Surat dari Rini selalu mengganggu pikiran Rusman. Ada rasa sesak di dadanya. Namun rasa sesak itu menyadarkannya kalau selama ini ia kurang memperhatikan Rini. Ia kurang memahami perasaan anaknya. Ia tidak merasakan kesepian dan kerinduan anaknya. Ia hanya menyibukkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kepergian istrinya. Ia tak menyadari kalau anaknya jauh lebih membutuhkannya dibandingkan istrinya yang sudah meninggalkannya.

“Anakku sudah besar. Ia sudah SMA,” kata Rusman dalam hatinya kala memandang Rini yang sedang mengepel lantai karena hujan tadi siang.

Ada kekhawatiran dalam diri Rusman kalau ia juga akan ditinggalkan anak satu-satunya itu. Ada gejolak di hati Rusman. Rusman pun bertekat kalau ia akan menjaga anaknya baik-baik karena hanya Rini yang ia miliki. Rini harus sekolah sampai selesai agar ia nanti bisa mendapat pekerjaan yang baik. Jangan sampai Rini menjadi TKW dan meninggalkannya seperti Suparti. Rusman sadar kalau selama ini ia sudah menyia-nyiakan waktu dengan terpuruk memikirkan istrinya yang tak pernah kembali. Harusnya ia lebih memikirkan anaknya yang setiap hari ada di sisinya, yang harus ia perjuangkan masa depannya.

Musim hujan sudah tiba. Seperti alam, hujan kali ini seperti memberikan udara segar di hidup Rusman. Ada setitik asa dan sepotong semangat di hidup Rusman untuk melihat anaknya lulus sekolah dan menjadi orang sukses. Ada segenggam kekuatan di hati Rusman untuk menyapu jejak Suparti agar benar-benar hilang dari hati dan pikirannya. Seperti hujan yang datang untuk menghapus jejak debu musim kemarau yang panjang.[]

Desi Wiramurti, S.Pd., mengajar Bahasa Indonesia di SMK Bina Utama Kendal.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar