Cahaya yang Tak Padam

Cerpen Agatha Ayu Pramesty

Ilustrasi by arsipwarna

“Aku benar-benar tak bisa mengizinkanmu ikut lomba itu, Naya. Kamu tahu sendiri, uang kita pas-pasan. Mending bantu Ibu jualan di warung daripada mikir menulis yang nggak jelas hasilnya.”

Kalimat itu meluncur tajam dari mulut Ibu, membuat dada Naya terasa sesak. Malam itu hujan turun deras, mengetuk atap seng rumah mereka. Bunyi rintiknya seperti irama yang mengiringi runtuhnya harapan.

Padahal sudah hampir seminggu Naya begadang menulis. Ia yakin cerpen yang disiapkannya bisa diikutkan lomba menulis tingkat pelajar se-provinsi. Tema lomba adalah “Cerita-Cerita Kehidupan”, dan apa lagi yang lebih nyata daripada kisah perjuangan anak desa kecil yang ingin meraih mimpinya? Namun dukungan yang paling ia harapkan justru tak datang dari orang terdekatnya.

“Bu, lomba ini penting banget. Siapa tahu aku bisa menang, dapat penghargaan, atau mungkin beasiswa. Aku pengin buktikan kalau menulis bisa jadi jalan masa depan,” suaranya bergetar menahan air mata.

Ibu hanya menghela napas panjang. “Naya, mimpi itu bagus. Tapi jangan sampai bikin kamu lupa sama kenyataan. Kita masih harus bayar listrik, masih harus mikir makan besok. Apa kamu sanggup tanggung itu kalau gagal?”

Kata-kata itu menancap di hatinya. Ia tahu benar bagaimana kondisi keluarga. Ayah sudah lama sakit-sakitan sejak jatuh dari sepeda motor beberapa tahun lalu, sedangkan Ibu hanya mengandalkan warung kecil di depan rumah untuk menutup kebutuhan. Kadang-kadang Naya ikut membantu berjualan gorengan atau mengantarkan sembako ke tetangga. Hidup sederhana itu sudah biasa, tapi kali ini hatinya menolak menyerah begitu saja.

Keesokan paginya, Naya pergi ke sekolah dengan wajah muram. Raka, sahabatnya sejak kelas X, langsung menyadari perubahan itu.

“Kenapa, Nay? Kok kayak habis dicuekin gebetan?” candanya.

Naya mencoba tersenyum, tapi gagal. “Ibuku nggak ngizinin aku ikut lomba cerpen. Katanya mending bantu jualan di rumah.”

Raka menggaruk kepala. Ia tahu betapa seriusnya Naya soal menulis. “Kalau gitu, jangan berhenti. Ingat pepatah Jawa: Jer basuki mawa bea. Untuk berhasil memang butuh pengorbanan. Tapi bukan berarti kalau nggak ada biaya, kita berhenti. Ada jalan lain.”

Naya menoleh cepat. “Maksudmu?”

“Kamu bisa nulis di sekolah. Aku pinjamin laptop. Soal print naskah dan ongkos kirimnya, coba kita usahain bareng. Aku yakin anak-anak kelas mau patungan. Toh kamu sering bantuin mereka bikin puisi waktu acara 17 Agustus.”

Naya terdiam. Sebuah senyum kecil akhirnya muncul di wajahnya. “Serius, Rak? Kamu beneran mau bantu aku?”

“Serius lah. Temen itu nggak cuma buat ketawa, tapi juga buat berjuang bareng.”

Hari-hari berikutnya, Naya memanfaatkan perpustakaan sekolah sebagai tempat menulis. Suasana perpustakaan yang tenang, bau kertas buku yang khas, dan cahaya matahari yang masuk dari jendela besar membuatnya merasa damai. Ia memilih tema tradisi sedekah bumi, sebuah upacara syukuran panen di desanya.

Naya menggambarkan dengan detail suasana ketika gamelan ditabuh di balai desa, anak-anak berlarian sambil membawa layang-layang, dan aroma tumpeng serta sayur lodeh yang dibagikan kepada warga. Menurut mitos yang beredar, jika tradisi itu ditinggalkan, desa akan dilanda gagal panen atau pagebluk. Lodeh sendiri dipercaya sebagai simbol kerukunan—karena terdiri dari banyak sayur berbeda yang dimasak menjadi satu rasa.

“Aku pengin ceritaku bukan cuma kisah, tapi juga cermin budaya kita,” gumamnya sambil mengetik.

Namun, menulis tak pernah mudah. Suatu sore, ketika hujan deras mengguyur kampung, listrik di rumahnya mendadak padam. Laptop pinjaman Raka mati total sebelum sempat ia simpan pekerjaannya. Naya hampir menangis.

Apa lagi tenggat pengiriman naskah hanya tinggal dua hari.

Teringat pesan almarhum kakeknya, Naya mencoba menenangkan diri: “Sing penting ojo gampang nyerah, Nduk. Urip iku kudu wani rekoso.” (Yang penting jangan gampang menyerah, Nak. Hidup itu harus berani berjuang.)

Dengan sisa cahaya dari lampu minyak kecil, ia menulis ulang naskah itu di buku tulis. Tangannya pegal, matanya perih, tapi semangatnya semakin kokoh.

Keesokan harinya, Bu Ratna, guru Bahasa Indonesia, memergokinya sedang menyalin tulisan di kelas.

“Naya, kamu lagi nulis cerpen lagi ya?” tanya Bu Ratna sambil tersenyum.

“Iya, Bu. Buat lomba… tapi kayaknya berat, soalnya Ibu saya kurang setuju,” jawab Naya pelan.

Bu Ratna menepuk bahunya lembut. “Naya, menulis itu bukan sekadar lomba. Menulis adalah cara kita melawan lupa, menjaga cerita tetap hidup. Kalau kamu punya semangat, jangan biarkan halangan kecil memadamkannya. Ingat, api lilin kecil pun bisa memberi terang di ruangan gelap.”

Ucapan itu membuat Naya semakin yakin. Ia ingin menyalakan lilinnya sendiri.

Hari pengumpulan naskah semakin dekat. Malam itu, ia masih menyalin naskahnya kembali ke laptop Raka setelah listrik menyala. Jantungnya berdebar karena waktu nyaris habis. Ia mengetik dengan cepat, tangan gemetar, dan akhirnya mengirim naskah tepat lima menit sebelum batas waktu. Saat tombol “kirim” ditekan, seolah beban besar terangkat dari pundaknya.

Beberapa minggu kemudian, saat jam istirahat, pengumuman lomba diumumkan melalui akun media sosial panitia. Jantung Naya hampir copot saat membaca. Namanya tercantum sebagai juara harapan.

Meski bukan juara utama, rasanya dunia berhenti sejenak. Ia menutup wajahnya dengan tangan, tak percaya. Raka bersorak sambil menepuk pundaknya.

“Tuh kan, aku bilang juga apa! Naskahmu pasti diperhitungkan.”

Sepulang sekolah, ia menunjukkan sertifikat kepada Ibu.

“Bu, ternyata menulis memang bisa membuka jalan. Lihat, aku diundang maju ke panggung, meski cuma juara harapan.”

Ibu menatap sertifikat itu lama. Senyum perlahan merekah di wajahnya, diiringi air mata yang mengalir tanpa disadari.

“Maafkan Ibu ya, Nak. Ibu cuma takut kamu kecewa. Ternyata kamu lebih kuat dari yang Ibu kira. Teruslah menulis, Naya. Jangan berhenti.”

Hati Naya hangat. Ia sadar, kemenangan sejati bukan sekadar penghargaan, tapi keberanian untuk berjuang sampai akhir. Kata-kata sederhana yang ia tulis mungkin kecil, tapi di baliknya ada cahaya yang tak lekas padam.[]

Biodata Penulis:

Agatha Ayu Pramesty, seorang siswi SMK Bina Utama Kendal kelas XII RPL 2 yang sejak kecil menyukai dunia menulis dan kerap menuangkan isi pikirannya dalam bentuk cerita pendek maupun puisi. Baginya, menulis adalah cara untuk merekam pengalaman hidup sekaligus menyuarakan perasaan yang sulit diucapkan secara langsung. Saat tidak menulis, ia aktif mengikuti kegiatan sekolah dan membantu keluarga di rumah. Agatha bercita-cita melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi serta menjadi penulis yang karyanya dapat memberi inspirasi bagi banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar