Oleh: Budi Darma
Ilustrator: Budiyana |
Ketika saya terbangun, pesawat baru saja memasuki
wilayah Hongaria, dan pada waktunya nanti pasti akan mendarat di Amsterdam.
Inilah pekerjaan saya sebagai penerbit: menerbitkan buku, mengusahakan
terjemahan, memasarkan buku di negara-negara Eropa, jual beli hak cipta, dan
berbagai negosiasi lain. Dan pekerjaan ini saya lakukan satu tahun sekali,
atau, kadang-kadang dua tahun sekali.
Tapi, karena dalam beberapa bulan terakhir saya
sering mendengar suara perempuan di bandara-bandara besar, saya berusaha untuk
lebih sering bepergian. Kalau saya tidak datang lagi dalam waktu lama, mungkin
suara itu akan diganti oleh suara orang lain. Rekaman pengumuman mengenai
keberangkatan dan kedatangan pesawat internasional bisa saja sewaktu-waktu
diganti.
Pengumuman dalam bahasa Inggris, Jerman,
Perancis, Mandarin, dan Jepang, itu biasa. Yang luar biasa, di samping
bahasa-bahasa itu, adalah pengumuman dalam bahasa Indonesia, dan juga bahasa
etnik Jawa.
Suaranya halus tapi sekaligus keras, lembut tapi
juga tegas, dan semua diucapkan dengan diksi dan artikulasi yang sangat
meyakinkan. Semua serba pas, seolah-olah semua bahasa itu adalah bahasa ibunya.
Mula-mula saya ragu, tapi kemudian saya yakin,
suara itu pasti milik Sandra Liangsi, mahasiswi Jurusan Jerman UNESA, yang
tiba-tiba lenyap baik dari rumahnya di Praban, maupun dari Kampus UNESA
Ketintang. Kata orang, Sandra melarikan diri, diikuti oleh kedua orang tuanya,
entah ke mana.
Dulu saya kuliah di Jurusan Inggris UNESA, dan
karena itu saya tahu sedikit banyak mengenai Sandra. Dia cantik, cekatan,
berani, dan suka menghina orang lain. Wajahnya lonjong, kalau tersenyum di
kedua pipinya tampak cekungan yang membuatnya makin cantik, meskipun senyuman
itu memancarkan ejekan, pertanda bahwa dia merasa hebat.
Ketika masih menjadi mahasiswa, Sandra adalah
tokoh penting dalam HIMAPALA (Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam) UNESA. Tapi
maaf, saya mengetahui Sandra dari berbagai organisasi mahasiswa ketika saya
sudah masuk ke semester enam, karena sampai dengan semester lima saya bekerja,
dan juga pernah cuti tiga semester. Saya pernah membantu penjual sayuran di
Pasar Keputran, pernah jualan roti, pernah juga menjadi kernet bis kota, dan
akhirnya berhasil menjadi sopir bis kota, bukan sekadar sopir biasa, tapi sopir
teladan pada zaman Walikota Dokter Purnomo Kasidi. Karena itulah, selama tiga
bulan saya disewa oleh Biro Umroh Natria, menjadi sopir di Saudi Arabia.
Pengalaman paling sengsara terjadi ketika saya
harus bekerja di Keputran, pasar khusus sayuran, buka mulai jam enam petang,
dan tutup pada jam lima pagi. Mau tidak mau saya selalu mengantuk, dan kalau
sampai saya tertidur, Bu Rimpun, seorang dosen yang tampak galak tapi baik
hati, melempari wajah saya dengan kapur tulis: ”Adlan, wash your face!”
Karena tidak tahan, akhirnya saya memutuskan
untuk berjualan roti, mengambil roti dari pabrik roti di Darmo Kali, jam
setengah lima pagi. Dengan mengontel sepeda, setiap hari saya menelusuri
berbagai kampung, menawarkan dagangan saya.
Akibatnya sama: mengantuk, datang terlambat,
kadang-kadang tertidur. Harapan mahasiswa: makin lama saya tertidur makin baik,
sebab mereka makin bebas mencuri roti saya. Akibatnya, hampir setiap hari
pemilik pabrik roti memaki-maki saya. Di bawah pimpinan Bu Rimpun, dosen-dosen
lain mengumpulkan uang untuk mengganti harga roti yang dicuri, disertai dengan
maki-makian dan gelak tawa.
Demikianlah, satu per satu pekerjaan saya jalani
dengan tawakal, sampai akhirnya saya mempunyai uang untuk merasakan menjadi
mahasiswa dalam arti yang sesungguhnya. Pada suatu pagi, ketika sedang lewat
dekat Gedung Fakultas Teknik, saya melihat banyak mahasiswa berkumpul,
menyaksikan kehebatan Sandra. Tanpa perlengkapan apa-apa, Sandra memanjat pohon
tinggi dan rindang, dan setelah sampai puncak, dengan gaya serampangan dia
melompat ke puncak pohon lain. Saya langsung mendaftar, bergabung dengan
mahasiswa-mahasiswa HIMAPALA.
Sandra memberi latihan-latihan dasar: mengambil
napas melalui hidung, membuang napas melalui mulut, melenturkan tubuh dengan
berbagai cara, lari ke depan, lari ke belakang, meloncat, berjungkir balik,
semua dengan beban berat. Dan yang paling menyengsarakan adalah panjat dinding
di Gedung Gema dengan beban berat, harus lebih cepat daripada cecak yang
berlari di dinding.
Semua anggota dihardik, tapi tidak pernah
digoblok-goblokkan, kecuali saya. Dia suka mengguncang-guncang tubuh saya
dengan kasar, dan, pada suatu hari dia berbisik: ”Kamu goblok! Makanya saya
menamakan kamu ’Gob’, alias Goblok.”
Tiga bulan kemudian, dia memimpin kami latihan di
dataran tinggi Pacet, untuk menghadapi cuaca buruk, hujan, kabut, tanah licin,
dan kemungkinan tanah longsor, selama dua malam. Dia mendapat bantuan dua truk
besar beroda delapan dari Kodam Brawijaya, dan mulai saat itulah saya gelisah.
Semua truk seharusnya dikemudikan oleh tentara, tapi dia memaksa dia mengemudi
satu truk, dan dia menyuruh saya untuk menjadi sopir truk kedua untuk mengejek
saya, sebab dia yakin saya tidak punya SIM.
Saya bilang saya punya SIM dia tidak percaya, dan
ketika dia melihat SIM Internasional saya, wajahnya merah membara. Sopir truk
tentara dan saya tidak setuju, tapi karena dia pandai berbicara, kami kalah.
Dua sopir tentara menjadi penumpang, Sandra dan saya menjadi sopir.
Kami berangkat dari Kampus Ketintang ketika hujan
sedang deras dan halilintar bersambaran, sementara semua jalan menuju ke tol
banjir, hampir-hampir mencapai lutut orang dewasa.
Ketika kami sampai di Pacet, semua pendapat sopir
tentara dan saya dibantah. Kami tahu tempat kami parkir bisa mengundang bahaya,
tapi dia tidak peduli. Bahkan, dua sopir tentara disuruh pulang, meskipun
mereka menolak.
Pada malam pertama, ketika hampir semua mahasiswa
sudah tidur dan cuaca sedang baik, dia mengajak saya duduk tidak jauh dari
jurang, melihat kelip-kelip lampu di kejauhan.
”Gob, saya kaget, ternyata kamu punya SIM
Internasional.”
Saya bercerita apa adanya.
”Apa kamu anak yatim piatu?”
Saya tidak menjawab, dan tampaknya dia maklum
”Kalau kamu perlu uang, akan saya bantu kamu,”
katanya.
Saya menolak.
”Gob, apa kamu tidak merasa kehilangan? Saya
mencuri buku dari tas kamu.”
”Saya tahu.”
”Ternyata kamu suka Kafka, Gob, Die
Verwandlung.”
Itulah judul asli novel Metamorfosis,
dan itulah buku yang dicuri.
Percakapan ini menyenangkan, tapi terpaksa diakhiri
dengan pertengkaran. Saya minta dia memindahkan truknya, dia ngotot menolak.
Malam berikutnya, terjadilah bencana: sebagian
besar mahasiswa sudah tidur, tiba-tiba truk Sandra mundur, merobohkan tenda,
dan menggilas mereka yang sedang tidur.
Sejak saat itulah dia menghilang, dan akibatnya,
dua sopir tentara dan saya dikerangkeng di penjara Kodam V Brawijaya selama
satu bulan.
Andre van Claver sudah menunggu saya di bandara
Amsterdam, dan begitu mendengar rekaman suara Sandra dalam bahasa Jawa, dia
tertawa, lalu berkata:
”Kamu bijaksana, Adlan, memilih penerbangan yang
istimewa.”
”Ya. Dulu, 7 September 2004, dalam pesawat GIA
974, pejuang HAM Munir Said Thalib meregang nyawa di wilayah udara Hongaria
dalam perjalanan menuju Amsterdam. Dia diracun, demikianlah kata Direktur
Institut Forensik Belanda. Ada 460 miligram arsenik, cukup untuk membunuh
Munir. Nomor penerbangan saya tadi sama, rutenya juga sama.”
”Kalau kamu berminat menerbitkan kisah Munir,
saya bisa mencarikan penulisnya.”
”Saya hanya menerbitkan fiksi, lain tidak.”
”Bisa, kan, kisah Munir dibuat novel?”
”Serahkan ke penerbit buku sejarah. Saya perlu
memikir lagi.”
Ketika akan meninggalkan Amsterdam saya datang di
bandara pagi hari, khusus untuk mendengar suara Sandra, meskipun pesawat saya
akan terbang malam hari.
Di Hamburg saya menyelesaikan transaksi dengan
dua penerbit Jerman, dan kebetulan bisa bertemu A.Fuadi, pengarang Negeri
Lima Menara, sebab kebetulan dia sedang menyelesaikan disertasinya di
Universitas Hamburg. Dia kenal dengan suara bahasa Indonesia di bandara
Hamburg, tapi karena waktunya sangat singkat, kami lebih banyak berbicara
mengenai kuliner Jerman.
Akhirnya, untuk keperluan pribadi, saya terbang
ke Praha, untuk melihat rumah sakit dalam novel Metamorfosis,
suasana lingkungan museum bekas rumah Kafka, dan gedung Dr. Faustus, tempat Dr.
Faustus menandatangani surat perjanjian dengan iblis Mefistofelis pada Abad
Pertengahan. Perjanjian ditulis dengan darah Dr. Faustus: dalam waktu 23 tahun
Mefistofelis bersedia menjadi budak Dr. Faustus, dan setelah 23 tahun berlalu,
Dr. Faustus menjadi budak abadi Mefistofelis. Dalam dunia gaib sebagai
pengendali dunia nyata, Mefistofelis dan Dr. Faustus menebar kejahatan abadi,
dilawan Michael, dengan kekuatan abadi untuk menebarkan kebaikan, dan karena
itu, kebaikan melawan kejahatan akan terus terjadi di dunia nyata.
Saya ingin masuk ke bekas rumah Kafka,
membayangkan ayah Gregor terhadap anaknya, lebih-lebih ketika anaknya sudah
berubah menjadi insek. Dalam esai ”Brief an den Vater” Kafka bercerita betapa
keji ayahnya, dan betapa takut dia menghadapi ayahnya, sebagaimana yang
tercermin dalam novel Metamorfosis.
Sebelum melarikan diri, Sandra sempat berkata,
pada suatu saat nanti dia akan ke Praha, untuk menabur bunga di makam perempuan
gila bernama Felice. Dia heran, mengapa Felice sudi menjadi pacar Kafka,
pengarang yang pada waktu itu dianggap gagal, penderita batuk darah, sembelit,
bisul berkepanjangan, dan insomnia.
Ketika sedang duduk di kedai kopi tidak jauh dari
patung Kafka, saya melihat rombongan turis dari negara-negara Baltik, dikawal
oleh dua perempuan, satu di depan, dan satu di belakang. Mereka membawa tongkat
dengan tiga bendera digandeng menjadi satu, yaitu Estonia, Latvia, dan
Lituania, sambil berteriak-teriak memberi komando kepada turis mereka.
Saya tahu, perempuan di depan itu, tidak lain
adalah Sandra, dan pikiran saya langsung melesat ke masa lalu, ketika truk dia
menggelinding, merobohkan tenda, dan menggilas teman-teman saya.(*)
---
Budi Darma, lahir di Rembang, Jawa Tengah, 25
April 1937, sebagai anak pegawai kantor pos. Setelah lulus S-1 di Universitas
Gadjah Mada, ia menjadi pengajar di IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri
Surabaya/Unesa. Bukunya yang fenomenal novel Olenka dan
kumpulan cerpen Orang-orang Blomington. Dua buku ini berisikan
kisah-kisah manusia dengan latar di Amerika Serikat, di mana dulu Budi pernah
belajar.
Budiyana, lahir di Sleman, Yogyakarta, 29
November 1969. Ia menempuh pendidikan SMSR Yogyakarta tahun 1990 dan mendirikan
Kelompok Seniman Pinggiran (Sepi). Sepi pernah pameran bersama di Australia.
Budiyana menggelar karya-karyanya secara tunggal di Galeri Hadiparana Jakarta
dan Bentara Budaya Yogyakarta tahun 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar