Sumber: Google |
Memasuki bulan Agustus, di sepanjang jalan sudah
terpasang bendera merah putih di depan rumah bentuk antusiasme masyarakat
menyambut hari kemerdekaan.
Dua hari sebelum HUT-RI ke-74, sekolahku mengumumkan lomba yang harus diikuti
seluruh warga SMK. Tarik tambang, makan
kerupuk, estafet kelereng dan estafet sarung. Lomba ini dimaksudkan untuk
memupuk antusiasme kami menyambut HUT-RI dan mempererat solidaritas antar teman
dan wali kelas untuk memperjuangkan kemenangan
kelas.
Aku masuk ke kelas tanpa menghiraukan teman yang sedang berdiskusi, Tidak sengaja aku mendengar temanku berniat untuk membolos besok.
“Besok nggak usah berangkat ya. Hanya lomba-lomba aja. Malas.” ujar Retno.
“Ya sudah, besok langsung ke rumah Mita aja, gimana?” timpal Vera.
“Kalau dimarahi Bu Eka gimana? Masa mau alpa semua? Nanti kalau dipanggil BK gimana?”
“Nggak usah takut, paling juga nggak diabsensi,” ucap Retno .
Aku beranjak dari tempat dudukku dan menghampiri mereka yang sedang berdiskusi. Mereka sedikit terkejut ketika melihatku.
“Eh kamu, Ra. Ada apa?” tanya Retno.
“Nggak apa-apa sih. Cuma mau tanya, emang bener besok pada nggak mau berangkat sekolah?” tanyaku.
“Enggak ah. Paling juga gitu-gitu doang. Mending kita jalan-jalan. Iya ‘kan, Retno?” jawab Mita yang kemudian dibalas anggukan oleh Retno.
“Mungkin jiwa solidaritas kalian nggak ada. Kalian cuma diminta berjuang buat kelas kalian aja malah mau bolos, gimana kalau kalian diminta berjuang buat negara?”
“Apaan sih. Kalau mau ikut ya tinggal ikut aja, nggak usah ceramah deh, Ra. Malas dengarnya tahu!” cerocos Vera.
Aku tak menghiraukan ucapan Vera dan berlalu meninggalkan gerombolan Retno.
Warga sekolah sudah berkumpul, apel pagi dimulai jam 7. Ternyata benar, Retno dan teman-temannya tidak berangkat tanpa keterangan. Tak hanya itu, banyak kelas lain yang siswanya tidak berangkat. Padahal hanya lomba. Kenapa mereka tidak antusias sama sekali? Bukankah kita hanya bertugas meneruskan perjuangan pahlawan dan tidak perlu bersusah payah dalam peperangan melawan penjajah? Apa yang sulit dari berpartisipasi dalam lomba HUT RI?. Batinku.
Setelah pelaksanaan lomba selama dua hari, kelasku mendapat juara 2 lomba estafet sarung. Tentu saja aku merasa senang. Kalah dan menang sudah biasa, yang terpenting dari itu bahwa kami sudah mencoba mengalahkan rasa malas.
Aku keluar dari perpustakaan sekolah, berjalan melewati koridor yang dipenuhi lalu lalang siswa karena masih jam istirahat. Aku melihat Tina dari jauh, lari menghampiriku dari arah toilet putri.
“Ra, udah dengar belum? Sekolah kita mau ada kegiatan bimbingan mental dan fisik?”
“Kata siapa, Tin?” tanyaku.
“Tadi di toilet pada ngomongin itu, katanya mau disampaikan besok soal pengumunan ini,” jelasnya kepadaku.
“Baguslah kalau begitu, biar kita lebih disiplin.”
Aku terkekeh. Tina melihatku kesal dengan kesal dan mencubitku. Lalu kami tertawa bersama.
Aku memandangi kalender di dinding. Tanggal 17 Agustus. Aku tersenyum. Jam dindingku sudah menunjukan pukul 6.00. Aku segera berangkat, berusaha untuk tidak terlambat karena hari ini adalah hari istimewa bangsa Indonesia.
Jam tanganku menunjukan pukul 6.30 ketika aku sampai di sekolah. Banyak siswa yang berlalu lalang di lapangan, mencari papan kelas masing-masing. Semua warga sekolah antusias mengikuti upacara hingga selesai. Aku tak melihat Retno mengikuti upacara bendera. Aku mencoba bertanya pada teman dekatnya, Mita.
“Mit, Retno nggak berangkat kenapa?”.
“Malas katanya, cuma upacara bendera. Dia bilang, mending di rumah aja, bisa tidur-tiduran.”
Aku hanya membalas anggukan lalu kembali duduk bersama Tina dan mendengarkan pengumuman. Upacara akan segera dimulai.
“Minggu depan akan diadakan Bimbingan mental dan fisik untuk meningkatkan nasionalisme dan patriotisme. Agar kalian menjadi warga negara yang baik bisa memajukan bangsa Indonesia. Jika dalam diri kalian sudah tertanam jiwa-jiwa nasionalisme dan patriotisme, negara Indonesia akan lebih maju dari hari ini. Kalian ini penerus generasi bangsa meneruskan perjuangan pahlawan yang gugur saat berjuang meraih kemerdekaan. Tugas kalian hanya menjaga dan memajukan bangsa ini,” ucap Ibu Kepala Sekolah.
Setelah pengumuman, upacara dibubarkan dan pulang ke rumah masing-masing. Aku ke rumah Retno untuk menyampaikan informasi yang diumumkan saat upacara.
Dari bahu jalan, kulihat rumah Retno tampak sepi. Selanjutnya aku menyeberang untuk sampai ke rumah Retno.
Aku mengetuk pintu rumah Retno beberapa kali. Selanjutnya terdengar suara kunci pintu diputar beberapa kali. Setelah pintu terkuak, di depanku telah berdiri ibu Retno. Ia masih memakai seragam kerja, sepertinya baru pulang upacara bendera.
“Assalamuailakum. Retno-nya ada, Bu? Saya Ara, teman Retno.”
“Waalaikumsalam. Ada, Nak. Dia masih tidur, padahal Ibu sudah membangunkannya beberapa kali. Ya sudah, silakan masuk.” Ibu Retno tersenyum manis sekali. Terdapat lesung pipit di pipi kanan dan kirinya. Selanjutnya ibu Retno mempersilakan aku masuk lalu meninggalkan aku di ruang tamu.
Retno keluar dengan masih memakai baju tidur. Rambut masih acak-acakan, dan sepasang matanya masih sayu meski sudah cuci muka. Sepertinya dia baru bangun tidur.
“Ada apa, Ra? kok nggak ngomong kalau mau ke sini?” Retno menguap, lalu tangan kanannya menutupi mulutnya.
“Kenapa tadi nggak berangkat upacara, Ret? Senin besok akan ada acara di sekolah, kita bimbingan mental dan fisik. Kita akan dilatih oleh para tentara.”
“Malas aja, cuma upacara. Nggak mau berangkat, mending tidur.” Dia menguap untuk kedua kalinya.
“Itu demi kebaikan kita, Ret. Kenapa sih kamu selalu nggak mau berangkat? Yang lain pada berangkat kok. Cuma kamu aja yang paling pemalas.” Timpalku.
“Untungnya apa sih, Ra. Kok kamu rajin begitu? Padahal cuma upacara dan lomba aja. Aku aja malas dan heran juga sama kamu, selalu berangkat ke sekolah dan nggak pernah izin nggak masuk sekolah.”
Aku diam, membalas dengan senyum. Hening beberapa saat.
“Tugas kita sebagai pelajar adalah belajar dan menaati peraturan sekolah, mengikuti segala kegiatan walaupun kadang kita nggak suka, sebenarnya sekolah punya niat yang baik agar kita menjadi seorang pelajar yang bertanggung jawab.”
Retno terdiam.
“Kamu pernah nonton film perjuangan? Gimana susahnya pahlawan memperebutkan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia? Banyak rakyat Indonesia gugur di medan perang. Tapi setelah merdeka, eh malah generasi mudanya malas-malasan.”
Aku menyenggol bahunya karena dia menguap lagi dan lagi. Ibu Retno keluar dengan membawa nampan yang berisi es teh dan camilan, mempersilakan aku untuk mencicipi. Ibu Retno ikut duduk dengan kami.
“Retno, dengarkan temanmu berbicara.” Ibunya mengelus rambut Retno.
“Semua orang tahu tentang kemerdekaan, tapi tidak semua orang tahu apa arti kemerdekaan. Hilangnya rasa kepedulian remaja terhadap negara membuat negara ini semakin lama semakin dikuasai oleh kemajuan-kemajuan yang dilakukan oleh negara lain.” Aku meneruskan.
“Kalian sebagai penerusnya hanya meneruskan perjuangan pahlawan dengan rajin belajar menaati peratuan dan ikut serta dalam kegiatan positif untuk meraih mimpi setinggi-tingginya. Ibu tadi mendengar Ara berbicara bahwa sekolah mengadakan bimbingan mental dan fisik. Ibu sangat setuju, supaya rasa semangat tumbuh dalam jiwa para remaja seperti kalian ini sebagai penerus dan memajukan negara ini. Mau jadi apa negara ini kalau remajanya malas-malasan?” Timpal Ibu Retno.
Retno kembali terdiam. Lama.(*)Aku masuk ke kelas tanpa menghiraukan teman yang sedang berdiskusi, Tidak sengaja aku mendengar temanku berniat untuk membolos besok.
“Besok nggak usah berangkat ya. Hanya lomba-lomba aja. Malas.” ujar Retno.
“Ya sudah, besok langsung ke rumah Mita aja, gimana?” timpal Vera.
“Kalau dimarahi Bu Eka gimana? Masa mau alpa semua? Nanti kalau dipanggil BK gimana?”
“Nggak usah takut, paling juga nggak diabsensi,” ucap Retno .
Aku beranjak dari tempat dudukku dan menghampiri mereka yang sedang berdiskusi. Mereka sedikit terkejut ketika melihatku.
“Eh kamu, Ra. Ada apa?” tanya Retno.
“Nggak apa-apa sih. Cuma mau tanya, emang bener besok pada nggak mau berangkat sekolah?” tanyaku.
“Enggak ah. Paling juga gitu-gitu doang. Mending kita jalan-jalan. Iya ‘kan, Retno?” jawab Mita yang kemudian dibalas anggukan oleh Retno.
“Mungkin jiwa solidaritas kalian nggak ada. Kalian cuma diminta berjuang buat kelas kalian aja malah mau bolos, gimana kalau kalian diminta berjuang buat negara?”
“Apaan sih. Kalau mau ikut ya tinggal ikut aja, nggak usah ceramah deh, Ra. Malas dengarnya tahu!” cerocos Vera.
Aku tak menghiraukan ucapan Vera dan berlalu meninggalkan gerombolan Retno.
Warga sekolah sudah berkumpul, apel pagi dimulai jam 7. Ternyata benar, Retno dan teman-temannya tidak berangkat tanpa keterangan. Tak hanya itu, banyak kelas lain yang siswanya tidak berangkat. Padahal hanya lomba. Kenapa mereka tidak antusias sama sekali? Bukankah kita hanya bertugas meneruskan perjuangan pahlawan dan tidak perlu bersusah payah dalam peperangan melawan penjajah? Apa yang sulit dari berpartisipasi dalam lomba HUT RI?. Batinku.
Setelah pelaksanaan lomba selama dua hari, kelasku mendapat juara 2 lomba estafet sarung. Tentu saja aku merasa senang. Kalah dan menang sudah biasa, yang terpenting dari itu bahwa kami sudah mencoba mengalahkan rasa malas.
Aku keluar dari perpustakaan sekolah, berjalan melewati koridor yang dipenuhi lalu lalang siswa karena masih jam istirahat. Aku melihat Tina dari jauh, lari menghampiriku dari arah toilet putri.
“Ra, udah dengar belum? Sekolah kita mau ada kegiatan bimbingan mental dan fisik?”
“Kata siapa, Tin?” tanyaku.
“Tadi di toilet pada ngomongin itu, katanya mau disampaikan besok soal pengumunan ini,” jelasnya kepadaku.
“Baguslah kalau begitu, biar kita lebih disiplin.”
Aku terkekeh. Tina melihatku kesal dengan kesal dan mencubitku. Lalu kami tertawa bersama.
Aku memandangi kalender di dinding. Tanggal 17 Agustus. Aku tersenyum. Jam dindingku sudah menunjukan pukul 6.00. Aku segera berangkat, berusaha untuk tidak terlambat karena hari ini adalah hari istimewa bangsa Indonesia.
Jam tanganku menunjukan pukul 6.30 ketika aku sampai di sekolah. Banyak siswa yang berlalu lalang di lapangan, mencari papan kelas masing-masing. Semua warga sekolah antusias mengikuti upacara hingga selesai. Aku tak melihat Retno mengikuti upacara bendera. Aku mencoba bertanya pada teman dekatnya, Mita.
“Mit, Retno nggak berangkat kenapa?”.
“Malas katanya, cuma upacara bendera. Dia bilang, mending di rumah aja, bisa tidur-tiduran.”
Aku hanya membalas anggukan lalu kembali duduk bersama Tina dan mendengarkan pengumuman. Upacara akan segera dimulai.
“Minggu depan akan diadakan Bimbingan mental dan fisik untuk meningkatkan nasionalisme dan patriotisme. Agar kalian menjadi warga negara yang baik bisa memajukan bangsa Indonesia. Jika dalam diri kalian sudah tertanam jiwa-jiwa nasionalisme dan patriotisme, negara Indonesia akan lebih maju dari hari ini. Kalian ini penerus generasi bangsa meneruskan perjuangan pahlawan yang gugur saat berjuang meraih kemerdekaan. Tugas kalian hanya menjaga dan memajukan bangsa ini,” ucap Ibu Kepala Sekolah.
Setelah pengumuman, upacara dibubarkan dan pulang ke rumah masing-masing. Aku ke rumah Retno untuk menyampaikan informasi yang diumumkan saat upacara.
Dari bahu jalan, kulihat rumah Retno tampak sepi. Selanjutnya aku menyeberang untuk sampai ke rumah Retno.
Aku mengetuk pintu rumah Retno beberapa kali. Selanjutnya terdengar suara kunci pintu diputar beberapa kali. Setelah pintu terkuak, di depanku telah berdiri ibu Retno. Ia masih memakai seragam kerja, sepertinya baru pulang upacara bendera.
“Assalamuailakum. Retno-nya ada, Bu? Saya Ara, teman Retno.”
“Waalaikumsalam. Ada, Nak. Dia masih tidur, padahal Ibu sudah membangunkannya beberapa kali. Ya sudah, silakan masuk.” Ibu Retno tersenyum manis sekali. Terdapat lesung pipit di pipi kanan dan kirinya. Selanjutnya ibu Retno mempersilakan aku masuk lalu meninggalkan aku di ruang tamu.
Retno keluar dengan masih memakai baju tidur. Rambut masih acak-acakan, dan sepasang matanya masih sayu meski sudah cuci muka. Sepertinya dia baru bangun tidur.
“Ada apa, Ra? kok nggak ngomong kalau mau ke sini?” Retno menguap, lalu tangan kanannya menutupi mulutnya.
“Kenapa tadi nggak berangkat upacara, Ret? Senin besok akan ada acara di sekolah, kita bimbingan mental dan fisik. Kita akan dilatih oleh para tentara.”
“Malas aja, cuma upacara. Nggak mau berangkat, mending tidur.” Dia menguap untuk kedua kalinya.
“Itu demi kebaikan kita, Ret. Kenapa sih kamu selalu nggak mau berangkat? Yang lain pada berangkat kok. Cuma kamu aja yang paling pemalas.” Timpalku.
“Untungnya apa sih, Ra. Kok kamu rajin begitu? Padahal cuma upacara dan lomba aja. Aku aja malas dan heran juga sama kamu, selalu berangkat ke sekolah dan nggak pernah izin nggak masuk sekolah.”
Aku diam, membalas dengan senyum. Hening beberapa saat.
“Tugas kita sebagai pelajar adalah belajar dan menaati peraturan sekolah, mengikuti segala kegiatan walaupun kadang kita nggak suka, sebenarnya sekolah punya niat yang baik agar kita menjadi seorang pelajar yang bertanggung jawab.”
Retno terdiam.
“Kamu pernah nonton film perjuangan? Gimana susahnya pahlawan memperebutkan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia? Banyak rakyat Indonesia gugur di medan perang. Tapi setelah merdeka, eh malah generasi mudanya malas-malasan.”
Aku menyenggol bahunya karena dia menguap lagi dan lagi. Ibu Retno keluar dengan membawa nampan yang berisi es teh dan camilan, mempersilakan aku untuk mencicipi. Ibu Retno ikut duduk dengan kami.
“Retno, dengarkan temanmu berbicara.” Ibunya mengelus rambut Retno.
“Semua orang tahu tentang kemerdekaan, tapi tidak semua orang tahu apa arti kemerdekaan. Hilangnya rasa kepedulian remaja terhadap negara membuat negara ini semakin lama semakin dikuasai oleh kemajuan-kemajuan yang dilakukan oleh negara lain.” Aku meneruskan.
“Kalian sebagai penerusnya hanya meneruskan perjuangan pahlawan dengan rajin belajar menaati peratuan dan ikut serta dalam kegiatan positif untuk meraih mimpi setinggi-tingginya. Ibu tadi mendengar Ara berbicara bahwa sekolah mengadakan bimbingan mental dan fisik. Ibu sangat setuju, supaya rasa semangat tumbuh dalam jiwa para remaja seperti kalian ini sebagai penerus dan memajukan negara ini. Mau jadi apa negara ini kalau remajanya malas-malasan?” Timpal Ibu Retno.
Tentang Penulis:
Nita Jepi Tamara, Kelas XII TKJ 1 di SMK BINA UTAMA KENDAL . Bisa dihubungi melalui e-mail: nitajepi@2003.gmail.com dan IG @nitajepi_tamara.
Nita Jepi Tamara, Kelas XII TKJ 1 di SMK BINA UTAMA KENDAL . Bisa dihubungi melalui e-mail: nitajepi@2003.gmail.com dan IG @nitajepi_tamara.
Menurut saya sudah bagus dan alur ceritanya pun tidak begitu monoton
BalasHapusSudah termasuk keren sih buat pelajar usia segitu bikin cerpen
Wah mantab nihh ceritanya
BalasHapus